Selamat datang di LAZKAM
Agenda Sekolah

SETELAH SURAT CINTA SAYA UNTUK MAS NADIEM MAKARIM

SETELAH SURAT CINTA SAYA UNTUK MAS NADIEM MAKARIM
Oleh: Haidar Bagir

Sejak surat cinta yang saya kirim buat Mas Nadiem Makarim menjadi viral, saya ditanya banyak orang, apakah surat saya itu ditanggapi? Pertanyaan datang lewat WAG, twitter, bahkan juga dari beberapa media. Maka, baiklah saya sampaikan di sini: bukan saja surat saya ditanggapi dengan baik, tapi – lebih dari ekspektasi saya – segera saja Kemendikbud mengatur pertemuan saya dengan Mas Nadiem Makarim.

Bahkan sehari setelah surat saya itu viral, saya dihubungi Mas Nino (Anindito Aditomo), Kepala Litbang dan Puskurbuk Kemendikbudristek, untuk diajak ngobrol. Dua jam saya bicara empat mata dengan Mas Nino sehari setelah itu. Mas Nino adalah seorang pejabat muda eselon satu yg cerdas, berwawasan luas, serta berpengalaman internasional, sekaligus rendah hati. Dengan sabar Mas Nino mendengarkan saran-saran saya, sambil sesekali menjelaskan posisi Kemendikbudristek terkait beberapa hal yang saya sampaikan di surat saya tersebut. (Bahkan salah satu saran saya, agar Kemendikbud juga menggerakkan proses belajar-mengajar berbasis komunitas RT-RW di masa pandemi ini, disambutnya dg baik. Belakangan saya tahu bahwa saran saya itu dibawa ke dalam salah satu rapat di Kemendikbudristek).

Maka, di suatu pagi saya pun bertemu dengan Mas Nadiem lewat zoom. Satu setengah jam penuh. Mas Nadiem hadir bersama pimpinan-pimpinan Kemendikbud. Ada Mas Nino juga, dan beberapa yang lain. Semua orang-orang muda. Dan semua bersikap ramah. Yang istimewa, Mas Nadiem juga tampil tak kalah ramah. Sedemikian, sehingga di tengah percakapan kami – dan gaya saya yang menggebu-gebu itu😊 – beliau merasa perlu mengatakan secara eksplisit bahwa beliau mendengarkan dengan penuh perhatian saran-saran saya, bahkan mencatatnya. Kekhawatiran saya bahwa Mas Nadiem akan defensif tak terbukti. Tentu di sana-sini beliau juga berusaha menjelaskan posisinya, dan posisi Kemendikbudristek dalam banyak hal. Tapi kami sama sekali tak berdebat, apalagi bersitegang urat leher, padahal saya menyampaikan apa yang sampaikan secara sepenuhnya straightforward dan apa adanya.

Mungkin juga karena sejak awal sudah saya tegaskan – seperti saya tegaskan di awal surat saya itu – bahwa persoalan saya bukanlah dengan program-program Merdeka Belajar. Saya nyaris setuju sepenuhnya dengan program-program tersebut. Bahkan, di surat saya itu, saya katakan bahwa program- program itu brilian. Sebaliknya dari hendak mempersoalkan atau menyudutkan program-program itu, saya justru sampaikan bahwa saran-saran saya itu adalah untuk memastikan bahwa program-program itu mendapatkan penerimaan dan a sense of ownership yang baik di masyarakat. Dan bukan malah mendapatkan resistensi atau bahkan pembangkangan, seperti tampak tanda-tandanya di masyarakat selama ini.

Maka, saya sampaikanlah concern saya soal gaya kepemimpinan dan gaya manajemen Mas Nadiem. Praktis hanya mengulangi apa yang saya tulis di surat tersebut. Saya hanya menambahkan beberapa diksi baru saja dalam diskusi tersebut. Bahwa di negeri sedang berkembang sebesar, sepadat, dan seberagam Indonesia ini, saya skeptis terhadap pendekatan yang terlalu teknokratis. Tak mungkin seseorang yang menempati posisi politis setinggi kementrian, menurut saya, bisa sukses dengan memelihara cara kerja yang “surgical” – yang bebas dari kebisingan tarik-menarik politik dan keribetan menciptakan konsensus, yang bahkan tak jarang ditingkahi kesalahpahaman, vested interest, dan intrik-intrik. Bukankah politik memang adalah the art of the (im)-possible?

Tak lepas dari soal gaya kepemimpinan dan manajemen tersebut, saya menekankan kembali soal perlunya ada upaya terpimpin dan terorkestrasi oleh semua elemen bangsa, mulai dari Presiden dan Menteri, sampai di level grassroot, untuk mengatasi ancaman learning loss yang amat mengerikan itu.

Maka Mas Nadiem, pertama, menyampaikan betapa sesungguhnya beliau sudah berupaya membuka diri dan reach out kepada sebanyak mungkin elemen masyarakat, termasuk menyambangi berbagai wilayah di Indonesia. Meski, beliau juga kadang merasa heran kenapa semua orang ingin bertemu langsung dengan beliau padahal beliau sudah memiliki pembantu-pembantu yang cakap dan beliau percaya untuk dapat mewakili beliau dalam berdiskusi dan menampung saran-saran? Saya, yang juga sudah puluhan tahun memimpin perusahaan, dapat menduga betapa Mas Nadiem berharap bahwa beliau tak harus menghabiskan waktu menemui semua orang agar cukup waktu mengerjakan banyak pekerjaan lain yang tak bisa beliau wakilkan dan harus beliau kerjakan sendiri.- sebagaimana lazimnya sesorang pimpinan perusahaan mengelola waktu dan anak buahnya.

Tapi, meski saya amat memahami jalan pikiran Mas Nadiem ini, di sinilah salah satu beda besar antara memimpin suatu posisi politik dan memimpin perusahaan. Apa boleh buat. Meski kecakapan dan reliability adalah ihwal amat penting, tapi orang tetap melihat bahwa political will sang Menteri adalah yang paling menentukan. Mas Nadiem pun menegaskan betapa beliau memiliki keperihatinan yang sama besar terkait persoalan learning loss ini hingga ngotot agar sekolah bisa secepatnya dibuka kembali – tentu dengan upaya-upaya ketat pencegahan penularan Covid-19. Beliau juga menyampaikan bahwa sebetulnya ada tak kurang dari 30 persen sekolah di Indonesia yang sudah mengujicoba PTM (pertemuan tatap muka). Wajah Mas Nadiem pun agak sedikit masygul ketika menyampaikan betapa tdak nyamannya beliau ketika ada orang menyangka bahwa beliau tak terlalu peduli dengan nasib anak-anak dari keluarga tak mampu yang hidup di berbagai wilayah negeri ini. Beliau pun menyampaikan beberapa hal yang menarik lainnya. Bukan saja soal bagaimana program-program yang terkait 10 episode Merdeka Belajar yang dicanangkan – termasuk program sekolah dan guru penggerak, pelonggaran tata alokasi dana BOS, bahkan pembelian laptop untuk mahasiswa – dirancang untuk mentransformasi dan menghasilkan perubahan mendasar terhadap sistem pendidikan di negeri kita. Tapi juga betapa Kemendikbudristek di bawah beliau telah menciptakan tak sedikit musuh karena telah mengupayakan pembersihan Kemendikbudristek dari KKN dan mafia atau makelar proyek.

Hingga setelah tak kurang daru satu setengah jam, pertemuan seru antara saya dan Mas Nadiem ini pun berakhir. Tapi Mas Menteri tak urung berpesan agar saya bersedia untuk tetap berkomunikasi dengan dan memberikan saran-saran bagi tim Kemendikbudristek di masa-masa yang akan datang. Secara spesifik beliau juga ingin saya bicara dengan guru-guru penggerak di berbagai wilayah negeri, bahkan dengan beberpa pimpinan Pemda di level Bupati yang beliau pandang progresif. Saya tentu menyanggupi. Hingga beberapa hari setelah itu, ditemani Pak Iwan Syahril, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek – lagi-lagi seorang anak muda yang banyak berpengalaman di dunia pendidikan, cerdas, berwawasan luas, dan ramah pula – saya pun dipertemukan dengan beberpa guru penggerak, yang telah sembilan bulan dilatih untuk menjadi agent of change di wilayah mereka masing-masing. Pertemuan dengan guru-guru penggerak ini hanya menguatkan harapan saya akan masa depan pendidikan Indonesia yang sangat cerah. Seperti ratusan guru yang pernah saya temui saat dulu-dulu saya masih aktif melakukan training, pada setiap guru ini saya lihat tersimpan hasrat (passion) yang bergelora, untuk terua belajar demi meningkatkan kemampuan mereka memberikan sumbangan bagi anak-anak Indonesia di seluruh pelosok negeri. Saya bahkan seperti merasakan adanya cinta yang berkobar di dada mereka. Cinta pada negeri, cinta pada pekerjaan sebagai pendidik, dan cinta pada anak-anak Indonesia.

Dua jam tak terasa berlalu, penuh semangat, gairah, luapan cinta, dan haru.……

Saya hanya seorang warga biasa negeri ini. Yang telah menikmati privilese dapat bersekolah sampai jenjang tertinggi. Di dalam dan di luar negeri. Yang kebetulan sudah sejak lama tercebur ke dalam kancah kegiatan pendidikan anak bangsa. Tak ada keraguan sedikit pun pada diri saya, bahwa pendidikanlah satu-satunya jalan untuk menyejahterakan warga negeri ini, meningkatkan kualitas kemanusiaan mereka, dan meningkatkan kemampuan bangsa ini untuk bangkit mengejar ketertinggalannya.

Saya sama sekali tak pernah merasa lebih pintar dari siapa pun, tidak dari orang-orang di Kemendikbudristek, lebih-lebih lagi tidak dari para tokoh dan aktivis pendidikan negeri ini. Tidak sama sekali. Saya hanya merasakan dorongan untuk berkontribusi – sekecil apa pun – bagi upaya kemanusiaan raksasa ini. Kalau pun hanya segayung air yang bisa saya tambahkan kepada samudera, setidaknya samudera itu telah menjadi sedikit lebih luas karena air segayung yang saya tambahkan itu. Mudah-mudahan komunikasi saya dengan Mas Nadiem dan pimpinan Kemendikbudristek, terlebih dengan para guru penggerak itu, dapat memberikan manfaat – sesedikit apa pun- ke arah ini.

Terima kasih, Mas Nadiem; terima kasih para pimpinan Kemendikbudristek; dan terima kasih para guru dan pendidik di seantero negeri. Mari kita terus bahu-membahu menangani pekerjaan besar ini. Mari kita hilangkan alangan yang melintang di jalan kerja sama di antara kita semua.

Dan kepada Mas Nadiem, kami terus menunggu Anda untuk senantiasa menyapa dan mengajak kami, mendengarkan keluhan-keluhan dan saran-saran kami, dengan penuh ketelatenan dan kesabaran, karena pada akhirnya kita semua adalah pemilik negeri ini. Kita semua, tak terkecuali. Juga karena keberhasilan kita ditentukan oleh ketulusan dan kerja sama semua elemen bangsa dalam bersinergi. Kita semua, tak terkecuali. Bukan saja semua warga bangsa punya hak untuk ikut berpartisipasi dalam hal apa saja yang berlangsung di negerinya; lebih dari itu, kita semua juga ingin memberikan saham dalam mengangkat negeri dan bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, serta dalam ia ikut serta menyejahterakan bumi manusia ini, dan kehidupan di dalamnya. Bagi bangsa dan rakyat Indonesia, dan bagi semua bangsa dan umat manusia. Karena, tak pernah tidak dalam seluruh sejarah manusia, di mana saja, bahwa “we are all in this together”.

Semoga Tuhan senantiasa menolong kita semua…

Comments are closed.